Diantara roti bakar dan hujan

Haikal, umur 15 tahun. Kalo kamu tanya, “kal kamu tinggal sama siapa?” jawaban haikal bukan ayah atau bunda. Aku tinggal sama nenek. Rumah kecil, dindingnya mulai rapuh, tapi hangat karena nenek selalu masak makanan enak dan menyapaku setiap pagi dengan senyum. Sejak haikal kelas 4 SD, ayah dan bundannya tidak lagi tinggal serumah. Awalnya mereka hanya bertengkar biasa aja. Tapi lama kelamaan, pertengkaran mereka berubah jadi teriakan. Aku sering pura pura tidur ketika mereka berdebat di ruang tengah, padahal hatiku berdebar kencang takut.


 Suatu pagi, bunda haikal mengemasi barangnya. Bunda cium keningku cepat cepat, lalu pergi. Ayah bilang, “Bunda kamu butuh waktu sendiri.” Tapi waktu itu haikal belum terlalu mengerti. Haikal kira “Sendiri” itu hanya sehari. Ternyata selamanya.


Hari ini, hujan turun dari pagi hingga sore. Haikal duduk di bawah jendela, memeluk mainan mobilannya dan mendengarkan suara tetes air yang jatuh di atap seng. Ada aroma tanah basah, dan entah kenapa aroma itu mengingatkan haikal pada sore sore masa lalu, waktu semuanya masih lengkap.


Dulu, kalo hujan turun, bundaku suka bikin roti bakar. Ayah akan menyalakan TV, dan aku duduk di tengah mereka sambil memegang cangkir susu yang hangat. Bunda suka mengoleskan selai coklat sampai ke ujung roti, dan ayah dengan gaya bercandaannya yang lebay selalu bilang, “Bunda kamu kok sayang banget sih sama roti, sampai dikasih selai sebanyak itu?” . Mereka tertawa, Aku juga ikut tertawa bukan karena lucu, tapi karena melihat mereka bahagia sudah cukup buatku.


Haikal duduk di teras rumah nenek, hujan turun. Di tangannya sepotong roti bakar dingin tak disentuh, matanya kosong menatap jalan yang basah. Nenek keluar dari dapur, membawa selimut tipis.


“Haikal masuk yuk nanti masuk angin.” Kata nenek lembut


“Gapapa nek haikal cuman . . . denger suara hujan aja kok.” Ucap haikal lembu


Nenek duduk di sampingnya, diam lalu mengusap kepala cucunya yang kini mulai tumbuh remaja.


“Haikal kangen mereka ya?”Tanya nenek


“Waktu hujan kayak gini bunda suka bikin roti bakar pake selai coklat, ayah suka duduk di sebelah haikal nek nonton kartun kita ketawa bareng nek, sekarang haikal makannya sendiri.”


Nenek terdiam, ikut sedih melihat cucunya, dia tau cucunya menyimpan luka yang tak pernah benar benar sembuh.


“Pernah haikal telpon bunda” ucap haikal

“Haikal nanya ‘bun kapan kita bisa kumpul bertiga lagi?’ bunda jawab, ’gatau nak mungkin nanti kalo semua udah lebih tenang’ tapi . . . ‘nanti’ gapernah datang nek.”


Beberapa hari kemudian, haikal memberanikan di hubungi ayahnya lewat ponsel yang jarang dia pakai.


“Assalamualaikum yah . . .”Ucap haikal.


“Waalaikumsalam haikal ada apa nak? kamu butuh apa? pulsa?” Ucap ayahnya.


“Ngga yah haikal cuman  pengen ngobrol bisa?” Suara Raka terdengar ragu.


“Ouh ya . . . bisa dong, maaf ayah lagi di luar kota tapi bilang aja nak”Ucap ayah nya.


“Yahh . . .  haikal pengen nanya ayah sama bunda apa masih bisa baikan lagi?”


Sunyi, ayah menarik napas di telepon.


“Haikal. . . kadang dua orang dewasa bisa saling sayang tapi tetap tidak cocok, bukan salah kamu ayah dan bunda cuman lebih baik begini.”


“Tapi kenapa haikal yang harus kehilangan semuanya? haikal gamau kaya gini yah.”


“Ayah ngerti nak tapi percaya, ayah tetap sayang kamu,”


“Kalosayang, kenapa cuma bisa ditelepon? haikal butuh peran ayah haikal juga butuh bunda, kenapa cuman satu satu?”


Ayah terdiam, lalu suara di telepon pelan pelan kecil.


“Maaf maafin ayah ya haikal . . .” Ucap ayahnya.


Telepon pun mati, air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga di pipi haikal.


Malam itu, haikal di ranjang kecil di kamar nenek matanya masih sembab , tiba tiba pintu kamar diketuk nenek masuk bawa segelas susu hangat.


“Nenek bikin susu biar tidurnya nyenyak.” Ucap neneknya.


“Nek haikla capek ngerasa kosong, kaya rumah ini tenang tapi ngga utuh.” ucap haikal.


Nenek duduk di ujung ranjang memeluk haikal erat.


“Haikal kuat sayang, dan suatu hari luka ini akan sembuh mungkin bukan karena ayah dan bunda kembali, tapi karena kamu akan tumbuh jadi orang yang tau artinya kasih sayang” ucap ayahnya.


“Haikl takut nek . . .” ucap haikal.


“Haikal takut apa nak?” ucap neneknya.


“Takut lupa suara tawa mereka, takut gabisa ngerasain pelukan mereka lagi.”


Nenek mencium kening haikal.


“Kalo kamu masih ingat rasa kangennya kamu ngga akan lupa mereka nak, doakan mereka. Mungkin suatu saat mereka sadar apa yang mereka tinggalkan.” ucap neneknya 


Pagi harinya hujan sudah berhenti, tapi hati haikal masih sedih dia duduk di meja makan. Nenek menyodorkan sepiring roti bakar.


“Ada selai coklat kesukaan kamu, nenek nemu di warung kemarin” kata nenek sambil tersenyum kecil


Haikal memandangi roti itu lama, lalu mengambil satu potong, menggigitnya pelan.


“Masih beda sama buatan bunda” gumam haikal


“Iya. . . tapi rasanya tetap manis kan?” sahut nenek


Haikal mengangguk lalu tersenyum tipis, mungkin untuk sementara waktu itu cukup.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ga harus tau segalanya hari ini